Kamis, 20 Agustus 2009

Ekonomi Korbankan Lingkungan



Pembangunan di China yang sangat luar biasa dalam 30 tahun terakhir ini menghasilkan pertumbuhan yang tinggi pula. Sayangnya, pembangunan itu sering kali mengabaikan faktor lain, seperti lingkungan dan kesehatan.

Pembangunan ekonomi China membuat tanah, air, dan udara terpapar polusi. Mutu lingkungan juga menurun. Para pejabat sudah sering berjanji menutup pabrik yang terbukti mencemari lingkungan. Namun, niat itu sering terbentur dengan kepentingan ekonomi setempat.

Salah satu contoh terbaru adalah lebih dari 600 anak keracunan di Provinsi Shaanxi. Setidaknya 615 dari 731 anak di dua desa dekat peleburan timah Dongling positif dinyatakan keracunan. Racun di tubuh anak-anak itu dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf dan reproduksi serta menyebabkan tekanan darah tinggi, anemia, dan hilangnya ingatan.

Kantor berita Xinhua di Beijing, Rabu (19/8), menyebutkan bahwa pejabat setempat telah mendapatkan kandungan timah yang berlebihan di sekitar pabrik. Kandungan itu ditemukan tidak hanya di dalam air dan tanah, tetapi juga udara di sekitar pabrik sudah terbukti mengandung timah yang berlebihan.

Kandungan timah yang terdapat di dalam tubuh anak-anak lebih banyak dibandingkan dengan ukuran standar nasional. Tingkat kadar timah pada darah anak-anak yang diperiksa berkisar dari 100 miligram hingga lebih dari 500 miligram per liter darah. Ini jauh di atas level normal, antara nol dan 100 miligram. Jika darah mengandung lebih dari 200 miligram timah, ini sudah termasuk berbahaya.

Pabrik peleburan timah yang terletak di Provinsi Shaanxi bagian barat laut itu dibuka pada tahun 2008. Ada 581 keluarga yang tinggal dalam radius 500 meter dari pabrik. Seharusnya mereka sudah direlokasi tahun ini. Namun, sejauh ini hanya seperempat penduduk yang mendapat rumah di tempat baru berjarak 1,3 kilometer dari pabrik.

Para ahli menyatakan, jarak 1,3 kilometer itu juga belum merupakan jarak aman. Pabrik itu berkapasitas 100.000 ton produksi timah per tahun dan dikendalikan Grup Dongling, perusahaan timah terbesar keempat di China.

Masih tidak aman

Li Li, seorang penduduk yang tinggal 1 kilometer dari pabrik, mengatakan, dua anaknya mulai mengalami perubahan warna rambut menjadi kekuningan dan ingatan mereka menjadi lemah sejak Januari 2009.

Kadar timah dalam darah mereka juga tinggi. Beberapa tetangganya telah mengirim anak mereka ke sekolah yang lebih jauh untuk menghindari polusi.

Persoalan lingkungan semakin banyak di China seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi China. Penegakan aturan yang kurang ketat membuat perusahaan selalu berupaya mencari jalan termudah dan termurah untuk membuang limbah.

Sebagian limbah langsung dibuang ke sungai atau ke tanah, tidak diolah sehingga lebih aman bagi lingkungan. Wali Kota Baoji di Provinsi Shaanxi, Dai Zhengshe, mendatangi pabrik timah itu karena ada protes warga.

Dai meminta maaf kepada warga serta berjanji bahwa perusahaan tidak akan diizinkan beroperasi hingga standar keamanan dipenuhi.

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/20/03323310/ekonomi.korbankan.lingkungan

Minggu, 24 Februari 2008

BELAJAR DARI KANT

Banyak orang mengenal Immanuel Kant, baik sebagai pemikir, filsof dan lain-lain, tapi tak cukup banyak orang yang mengetahui perjalanan intelektualnya. Ternyata perjalanan intelektual Kant melebihi perjalanan fisik yang dapat ia lakukan.
Kant pada suatu bagian kehidupannya pernah menjadi guru besar geografi yang piawai menggambarkan sisi kota-kota besar dunia dan beberapa penjuru dunia. Padahal, Kant sama sekali tak pernah melihat gunung seumur hidupnya. Bahkan, ia sama sekali tak pernah melihat lautan, yang sebetulnya hanya berjarak beberapa mil saja dari rumahnya.
Sebenarnya Kant rajin melakukan perjalanan fisik di pagi hari buta pada musim apa pun. Tapi, perjalanan fisik Kant – yang orang menyebutnya sebagai “Philosopher's walker” - ini tak tak pernah melewati batas-batas kota kecilnya, Konigsberg. Ajaibnya, meski petualangan fisik Kant sangat terbatas, ia mampu memberikan kuliah-kuliah geografi dengan penggambaran yang sangat cerdas, hidup dan memukau. Dengan segala keterbatasannya, dari mana Kant memiliki kepiawaian seperti itu?
Dari caranya bertutur dan risalah-risalah yang ditulisnya, orang akan segera mengetahui betapa Kant telah melakukan perjalanan yang begitu jauh melewati wilayah-wilayah etika dan epistemologi dengan segala tantangannya. Bahkan, melampaui Ultima thule (jarak terjauh) logika yang rumit dan berbahaya hingga menembus lorong ilmu yang paling gelap dan paling jauh.
Ternyata, Kant memiliki kemampuan yang luar biasa luas dan dalamnya itu berasal dari kedalaman intelektualitasnya yang terasah melalui buku-buku dan literatur-literatur yang ia baca. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dinyatakan oleh Susan Sontag, esais dan novelis Amerika Serikat yang pernah menulis esai “Homage to Halliburton”:
“Sebelum melakukan petualangan fisik – dalam hidupku, setidaknya – ada petualangan bersama buku-buku. Buku-buku itu menuturkan kepadamu dunia yang maha luas, namun sungguh tercakup. Penuh dengan kemungkinan-kemungkinan”.
Begitu besar dan pentingnya buku-buku dalam pembentukan kepribadian seseorang, sehingga banyak orang terprovokasi dan termotivasi oleh bacaan-bacaannya. Sayang, di Indonesia kini, sangat langka kita temui buku-buku yang mampu memberikan kedalaman dan kesegaran bagi jiwa. Buku-buku yang kritis menginterogasi keyakinan-keyakinan kita yang telah usang, yang mengajak kita berpetualang ke ruang-ruang yang mungkin sama sekali asing dan memberi banyak inspirasi bagi para pembacanya. Kenyataannya kita banyak disuguhi buku-buku – yang Sontag menyebutnya sebagai – bookscreen yang banyak mengumbar seks, gosip, cerita-cerita tentang trik-trik menjadi kaya dan sebagainya.
Keprihatinan kita tentang buku-buku yang berkualitas dan memberikan banyak inspirasi, ternyata masih harus ditambah dengan minimnya minat baca dan perpustakaan-perpustakaan publik. Kenyataan seperti ini lambat laun akan memberikan kontribusi pada hilangnya sejarah umat manusia. Setidaknya itulah yang Sontag katakan :
“Jika buku-buku musnah, sejarah akan musnah dan umat manusia juga akan musnah... buku-buku bukan hanya penjumlahan dari mimpi-mimpi dan ingatan kita, tapi juga memberikan kepada kita model transendensi diri.”
Bila kita ingin jadi orang besar seperti Immanuel Kant dan orang-orang besar lainnya, mari mulai petualangan intelektual transedental kita dengan banyak membaca. Wallahu a'lam bisshowab. (zoel)

Minggu, 27 Januari 2008

Menerawang Ekonomi Indonesia di Tahun 2008

Menerawang ekonomi Indonesia di tahun 2008 ini, mungkin bisa kita mulai dengan data inflasi nasional yang masih tergolong normal, sebesar lebih kurang 6,4 persen. Sampai sejauh ini, BI agaknya cukup percaya diri dan memastikan bahwa tingkat inflasi akan terus terjaga ke depan. Sikap penuh percaya diri ini dimanifestasikan dengan pemangkasan suku bunga BI sebesar 25 basis poin ke tingkat 8 persen pada awal Desember lalu.
Tekanan inflasi ke depan akan menguat sebagai akibat derasnya arus investasi asing. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda arus modal asing akan mereda. Sebaliknya, data awal menunjukkan bahwa akan terjadi peningkatan arus modal asing tahun ini, yang diprediksikan akan mencapai lebih besar 15,6 miliar dollar AS ketimbang tahun lalu. Makin besarnya animo investor asing didorong oleh banyak faktor, antara lain prediksi pelemahan ekonomi di banyak negara maju akibat efek berantai krisis keuangan subprime mortgage (krisis kredit perumahan di AS) serta masih tingginya risiko politik di negara berkembang lain.

Tantangan Kenaikan Harga Minyak
Kenaikan harga minyak masih menjadi tantangan terbesar bagi stabilitas ekonomi makro pada 2008. Saat ini harga minyak sekitar 98 dollar AS per barrel. Asumsi harga minyak untuk penerimaan hasil minyak dan pengeluaran subsidi BBM 60 dollar per barrel. Jika sepanjang tahun 2008 harga minyak terus bertengger di 100 dollar per barrel, subsidi energi akan melonjak lebih besar daripada kenaikan penerimaan minyak. Jika pemerintah tak melakukan penghematan, defisit anggaran akan memburuk dari Rp 73 triliun menjadi Rp 128 triliun atau setara dengan 3 persen produk domestik bruto (PDB). Dan akumulasi kenaikan harga minyak dunia ini akan mendorong tingkat harga domestik ke atas, yang biasanya akan berujung pada inflasi.
Masih belum terasanya dampak kenaikan harga minyak pada perekonomian domestik saat ini disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama adalah relatif terinsulasinya konsumsi rumah tangga berkat subsidi BBM. Faktor kedua adalah adanya efek keterlambatan (lag effect) transmisi harga dari tingkatan harga minyak mentah di pasar dunia ke harga minyak eceran di tingkat konsumen. Akan tetapi, seiring dengan merangkaknya biaya bahan baku dan distribusi pada sektor produksi sebagai kenaikan harga minyak, kenaikan harga ini akan tertransmisi ke tingkat eceran dan rumah tangga, yang akan meningkatkan inflasi domestik. Alhasil, dari beberapa faktor di atas, inflasi tinggi masih merupakan potensi yang harus diwaspadai di tahun ini.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil kebijakan dalam mengantisipasi kondisi di atas. Setidaknya ada dua kebijakan sebagai langkah pengamanan, yang memiliki risiko politik dan ekonomi yang kecil. Langkah pertama adalah memastikan gejolak harga minyak sepenuhnya diserap APBN. Langkah ini penting untuk menginsulasi rumah tangga konsumen dari kenaikan harga minyak dan tekanan inflasi spiral. Sementara langkah kedua adalah mempersempit koridor lalu lintas devisa serta mengarahkan modal asing yang masuk lebih pada sektor-sektor yang produktif, bukan sebatas investasi portofolio.

Mencari Sumber Energi Baru
Kita harus berpikir jangka panjang dengan tetap mencari sumber energi baru. Penerimaan minyak berisiko turun karena produksi minyak turun. Bahkan, karena konsumsi minyak meningkat, neraca perdagangan minyak defisit 8,7 miliar dollar AS per November 2007. Jika ditambah ekspor gas, neraca perdagangan minyak dan gas hanya surplus 74 juta dollar AS. Surplus neraca perdagangan kita yang 36 miliar dollar AS bukan ditopang produksi minyak, tetapi ekspor komoditas nonminyak.
Banyak analis memprediksi, tahun 2008 harga batu bara dan kelapa sawit akan bertahan tinggi karena tren jangka panjang diversifikasi energi. Tetapi, harga komoditas nikel, tembaga, dan produk metal lainnya diprediksi turun pada semester pertama (setidaknya sementara waktu) karena pelemahan ekonomi dunia. Seperti yang terjadi pada tahun 2007, kenaikan harga saham di Indonesia didorong oleh kenaikan harga komoditas sehingga harga beberapa saham perusahaan pertambangan dan perkebunan melesat lebih dari 100 persen karena labanya meningkat pesat. Tren diversifikasi bahan energi dari minyak bumi ke batu bara, bioenergi, dan biodiesel telah menaikkan harga barang tambang (batu bara dan gas) dan produk perkebunan (kelapa sawit, jagung, kedelai, gandum, dan sebagainya).
Sebenarnya kita tidak perlu pontang-panting kerepotan dengan kenaikan harga BBM, karena kita masih bisa mengembangkan beberapa komoditas dan sumber energi lain. Selain batu bara dan kelapa sawit, kita masih punya energi panas bumi, pohon jarak, energi air, energi angin, bahkan energi sinar matahari. Yang diperlukan adalah konsistensi dan implementasi pemberian insentif, termasuk untuk riset, eksplorasi, dan insentif untuk pemakai energi itu. Jangan sampai kita hanya mendapatkan kerusakan lingkungan dari eksplorasi bahan energi (misalnya batu bara dan kelapa sawit), tetapi kita tak mendapat manfaat maksimum dari bahan baku energi tersebut. Wallahu a’lam bis-shawab.

Rijaludin dari berbagai sumber

MENELISIK KEMACETAN BANDUNG

Bandung macet, mungkin sekarang bukan suatu fenomena yang aneh. Hampir semua jalan di setiap sudut Kota Bandung mengalami kemacetan setiap hari. Coba amatilah jalan-jalan utama Kota Bandung setiap pagi dan sore hari. Tampak barisan mobil memanjang. Terdapat juga sepeda motor dan becak terselip di antara antrean mobil tersebut.
Kini, kemacetan lalu lintas kian terasa saat akhir pekan atau hari libur ketika banyak warga Jakarta dan kota-kota lainnya berlibur ke Bandung. Pendek kata, kemacetan lalu lintas di Kota Bandung sudah membuat warganya tidak nyaman. Waktu terbuang percuma di jalanan, ongkos transportasi jadi mahal dan bahan bakar makin boros.
Apabila ditelisik, ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kemacetan Bandung ini. Pertama, karena tidak seimbangnya peningkatan jumlah kendaraan dengan peningkatan ruas jalan. Peningkatan jumlah kendaraan berkisar antara 11% s/d 15% pertahun; sementara peningkatan jaringan jalan hanyalah sekitar 1.4% saja.
Kedua, aspek tata ruang. Ada orang yang mengatakan bahwa kemacetan yang terjadi di Bandung ini, sebenarnya dibuat sendiri oleh pemerintah. Karena orientasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang menggebu, pembangunan pertokoan, pasar swalayan, perkantoran, terus dipacu. Tapi dari sisi perencanaan tata ruang ( tata ruang sebagai salah satu variabel dari penyebab kemacetan) aktifitas yang diperkirakan dapat menyedot kendaraan sebanyak-banyaknya itu tidak harus tumplek, di satu lingkungan tertentu.
Ketiga, kebijakan rute angkutan umum. Boleh jadi Pemda ingin memberikan pelayanan angkutan umum yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan pembuatan trayek dari satu titik pemberangkatan ke titik tujuan dan sebaliknya dilandasi oleh keinginan untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya tersebut. Atau dengan penambahan armada angkot hanya didasari untuk menambah pemasukan.
Pada dasarnya terdapat empat pendekatan utama untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas. Pendekatan pertama adalah pembangunan infrastruktur (infrastructure provision) baru, dengan membangun jalan baru bisa berupa jalan tol atau jalan layang, pelebaran jalan, membangun jembatan dan sebagainya.
Pendekatan kedua adalah mengatur permintaan pergerakan (demand management). Ide dasar ini adalah mengatur permintaan pergerakan orang atau barang pada waktu dan tempat yang bersamaan berdasarkan tinjauan dari pola pemanfaatan ruang dan sistem jaringan.
Pendekatan ketiga adalah mengatur angkutan umum publik (public transport management), yang bertujuan untuk meningkatkan daya angkut jumlah penumpang melalui kendaraan umum, sehingga penggunaan kendaraan pribadi menurun.
Pendekatan terakhir adalah mengatur lalu lintas (traffic management). Pendekatan ini cukup sering dijalankan di Kota Bandung. Tujuannya untuk memperlancar arus pergerakan lalu lintas untuk menghindari terjadinya kemacetan.
Kebijakan pemerintah dalam hal tata ruang ataupun urusan trayek yang ujung-ujungnya mempengaruhi tingkat kemacetan ini, ada baiknya memerhatikan pula aspek psikologis. Jangan hanya karena bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, kemudian aspek yang lainnya- - termasuk aspek kemacetan - - menjadi terlupakan. Bila kemacetan ini terjadi terus-menerus, bukan tidak mungkin akan preseden yang buruk bagi warga Bandung sendiri. Kalau sudah begitu, tersentil saja oleh hal-hal yag kecil bisa-bisa menjadi pemicu kerusuhan yang besar. Bukankah pengalaman selama ini menujukan, bahwa bila penduduk lokal sudah marah, kontrolnya akan hilang?. Kalaulah itu yang terjadi, selain semuanya rugi, dan yang juga tidak kalah pentingnya - - apa yang tadinya - - dianggap sebagai modal untuk meningkatkan pemasukan daerah, justeru jadi tekor. Wallahu a’lam bis-shawab


Rijaludin dari beberapa sumber

Dilema BBM

Pernahkah anda mengantri minyak tanah? Bila pernah, tentu anda akan merasa sangat kerepotan. Setidaknya seperti itulah yang dirasakan penulis ketika harus mengantri selama 2-3 jam hanya untuk mendapatkan 2-3 liter minyak tanah. Daerah saya termasuk dari sebagian besar wilayah di Kota Bandung yang belum terjamah program konversi minyak tanah ke gas.
Kenyataan tadi telah menunjukkan bagaimana pemerintah belum bisa melakukan langkah-langkah yang efektif dalam mengantisipasi permasalahan BBM ini. Padahal, sejak jauh-jauh hari pemerintah telah menangkap sinyal akan naiknya harga minyak di pasar internasional, bahkan sampai pernah menyentuh angka 100 dollar AS per barrel. Pemerintah masih menganggap krisis minyak yang tengah terjadi ini hanya proses fluktuatif biasa dan tidak banyak mempengaruhi APBN. APBN masih dinilai netral, atau dengan kata lain pembengkakan subsidi – bila harga minyak terus menanjak – masih bisa ditutupi dengan peningkatan pendapatan dari kenaikan produksi migas. Kondisi netral ini hanya akan dicapai bila produksi minyak mentah kita sebesar 1,034 juta barrel perhari, dan untuk mencapai angka produksi minyak mentah 1,034 juta barrel perhari itu sangat sulit. Menteri Keuangan pernah melakukan koreksi terhadap produksi (lifting) minyak pada tahun 2007 menjadi sebesar 899.000 barrel per hari dari apa yang dilaporkan Menteri ESDM sebesar 910.000 barrel per hari. Keadaan ini, menurut Menkeu, mengkhawatirkan karena kecenderungan produksi yang terus menurun dan jauh di bawah sasaran APBN.
Sementara itu, program konversi minyak ke gas yang ditargetkan bisa rampung dalam empat tahun, ternyata berjalan secara tergopoh-gopoh dan tidak merata. Sebenarnya, empat tahun waktu yang ditargetkan – berkaca dari pengalaman negara lain dalam pengembangan energi baru – adalah suatu kemustahilan. Sebagai contoh, proses transisi energi yang dilakukan di AS berjalan selama 70 tahun (1850 – 1920)dan Korea 30 tahun (1950 – 1980). Berbagai studi di sejumlah negara yang melakukan transisi energi ini menunjukkan, adopsi terhadap energi yang lebih moderen ternyata berujung pada pemakaian sumber energi ganda. Promosi energi yang lebih baik tak banyak menuai hasil. Dan sebuah keluarga hanya akan beralih ke energi yang lebih baik sangat tergantung kepada peningkatan pendapatan.
Kenaikan harga BBM sampai di atas 80 dollar AS perbarrel, akan menjadi pukulan bagi dunia usaha. Industri yang akan terpukul dengan kenaikan ini sudah pasti adalah industri transportasi, manufaktur dan pariwisata. Padahal, sekitar 99,9% transportasi, 43,8% manufaktur, 53,1% sektor komersil lain dan 23,7% pembangkit listrik di Indonesia masih sangat tergantung kepada BBM. Dikhawatirkan akan ada dampak berantai (pass-through effects) bagi perekonomian domestik dalam bentuk kenaikan biaya produksi, kenaikan inflasi, penurunan pertumbuhan ekonomi dan seterusnya. Sedangkan 49% penduduk Indonesia atau hampir 120 juta jiwa menurut Bank Dunia berada di bawah garis kemiskinan, yang pasti akan sangat terpukul dengan kondisi tersebut.

Memang pemerintah dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sangat dilematis. Ketika pemerintah berusaha mematok harga minyak pada kisaran 60 dollar AS perbarrel, sedangkan harga di pasar internasional sudah berada di atas 80 dollar AS perbarrel. Selain hanya akan menambah beban utang negara, kenaikan harga minyak pun akan mengakibatkan defisit APBN antara Rp. 5 miliar sampai Rp. 1 triliun.
Bila negara produsen minyak lainnya, telah sadar bahwa mereka tidak dapat bergantung pada pemain utama perminyakan asing karena alasan kepentingan nasional. Sehingga dalam jangka waktu tertentu mereka harus mengembangkan perusahaan nasional perminyakannya sendiri, seperti Petrobas di Brasil, Petronas di Malaysia, Aramco di Arab Saudi, dan di negara lainnya seperti Rusia, Norwegia, dan Iran. Dan kenyataaannya perusahaan-perusahaan tersebut yang pada umumnya adalah BUMN sudah menjadi pemain dunia dan menjadi penyumbang utama produksi minyak negara yang bersangkutan sehingga mereka tidak lagi terjerat dalam konflik antara mengundang investor asing dan kepentingan nasional. Apakah kita bisa berharap banyak kepada Pertamina? Dan apakah pemerintah berani menempuh langkah-langkah yang lebih tegas dan berani? Wallahu a’lam bis-shawab.

Rijaludin dari berbagai sumber

Senin, 31 Desember 2007

LAUT MEMANAS DAN MELUAP

LAUT MEMANAS DAN MELUAP :

MEMAHAMI PEMANASAN GLOBAL

DALAM PEMAHAMAN YANG KOMFEREHENSIF

= : واذاالبحار سجرت = التكوير

= : واذاالبحار فجرت = الانفطار

Tanggal 3-14 desember 2007 diselenggarakan Konferensi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim ( UNFCCC) atau sering juga disebut dengan Conference of the Parties to the Convention (COP) ke-13 di Nusa Dua Bali, yang bertujuan untuk merumuskan “peta alur jalan” (road map) dalam mengantisipasi permasalahan perubahan iklim dan pemanasan global. Isu perubahan iklim dan pemanasan global ini kian menghangat ketika masyarakat dunia semakin sadar akan dampak dari kedua masalah besar tadi. Naiknya suhu bumi telah mengakibatkan meluapnya air laut sampai rata-rata 15 cm hingga telah menenggelamkan sebagian pulau di samudera Pasifik, pencairan glacier dan bongkahan gunung es di Kutub Utara. Pemanasan global (global warming) ini pun telah meningkatkan frekuensi badai, topan dan banjir. Dan akibat dari musim yang tidak menentu menyebabkan para petani mengalami gagal panen.

Memperhatikan keprihatinan Abdul Mu'ti dalam tulisannya di sebuah media nasional tentang 'dingin'nya para ulama dan umat Islam dalam menanggapi isu pemanasan global ini serta terkesan dikotomis dan terlalu text-oriented. Maka, penulis merasa tergerak untuk menceritakan isu pemanasan global ini dalam perspektif yang menggabungkan pemahaman text-oriented (Naqliyyah) dan pemahaman kontekstual.

a. Laut Memanas dan Meluap

Dua ayat di awal tulisan ini telah mengajak kita untuk menengok fenomena alam البحار (lautan) yang disandingkan dengan ungkapan سجرت (dipanaskan) dan فجرت (meluap). Imam as-Suyuthi rohimahullah dalam kitab tafsirnya, ad-Durul Mantsur fit-Tafsiril Ma`tsur, telah mengutip beberapa penafsiran para sahabat dan tabi'in tentang dua ayat di atas.

Ad-Dhahak dan al-Hasan menjelaskan ayat واذاالبحار سجرت dengan pernyataan: “Air laut meluap dan hilang meresap”. Ad-Dhahak menambahkan kata سجرت memiliki pengertian yang sama dengan kata فجرت .

Sedangkan Ibnu Abbas ketika ditanya tentang ayat واذاالبحار سجرت oleh Nafi' bin al-Azraq, Abbas menjelaskan bahwa air laut akan memanas hingga menjadi api, dan air laut akan meluap dan bercampur dengan air di daratan.

Dengan penjelasan yang agak panjang, Ubay bin Ka'ab menjelaskan: “Di saat menjelang kiamat Jin dan Manusia berlarian ke laut, tapi laut telah menjadi api yang menyala-nyala. Lalu bumi terbelah di antara mereka dan tiba-tiba datanglah angin yang menewaskan mereka semua.”

Sedangkan untuk ayat واذاالبحار فجرت Ibnu Abbas memaparkan, bahwa air laut akan meluap dan bercampur antara yang satu dengan yang lainnya.

Dari beberapa penafsiran di atas dapat kita simpulkan, dua ayat tadi menjelaskan tentang ciri-ciri kiamat yang salah satunya digambarkan dengan air laut yang memanas, meluap ke darat, meresap dan hilang menguap. Namun, apakah gambaran ini mendekati fenomena pemanasan global?

b. Memahami Konteks Pemanasan Global

Fenomena pemanasan global sebenarnya adalah apa yang kita kenal sebagai efek rumah kaca secara berlebihan. Efek rumah kaca terjadi ketika sisa-sisa pembakaran berupa Karbondioksida (CO2), Dinitoksida (N2O), Metana (CH4), Sulfurheksafluorida (SF6), Perfluorkarbon (PFC5) dan Hidrofluoro karbon (HFC5) menyelimuti atmosfer sehingga radiasi matahari tidak seluruhnya dapat dipantulkan dan terperangkap di bumi. Efek rumah kaca diakibatkan oleh pembakaran gas kendaraan bermotor, penggunaan gas untuk memasak dan penggunaan bahan bakar fosil, seperti minyak dan batubara.

Di awal telah disebutkan beberapa hal yang ditimbulkan dari pemanasan global. Kengerian ini masih akan terus bertambah, seperti yang dilaporkan oleh majalah Time (edisi 1 Oktober 2007), bahwa lapisan es di Kutub Utara menyusut lebih dari 20 persen dalam 25 tahun terakhir dan akan terus terjadi sampai hanya menyisakan 20 persen lapisan es saja pada 2040. Saat itu Indonesia diperkirakan akan kehilangan 2000 pulaunya yang tenggelam. Pertengahan November kemarin pun warga Jakarta dikejutkan dengan meluapnya air laut hingga menyerupai fenomena banjir yang biasa terjadi.

Masih banyak kejadian lain yang semakin mendekatkan kepada kita apa yang difirmankan ALLAH SWT dalam dua ayat di muka, “Laut Memanas dan Meluap”. Bukankah suatu yang sangat cocok antara penjelasan tekstual dan kontekstual?

c. Pemahaman dan Pertobatan Secara Komferehensif (Kaffah)

Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Abdul Mu'ti, mengajak para ulama dan seluruh umat manusia untuk melakukan langkah bersama dalam mengantisipasi fenomena pemanasan global ini tanpa terjebak pada pemahaman yang dikotomi, membedakan antara urusan dunia dan urusan akhirat, serta tidak memilah-milah antara pemahaman tekstual dan kontekstual, toh kedua pemahaman ini bisa sinkron.

Selanjutnya, tak cukup dengan hanya menyerahkannya kepada takdir ALLAH SWT, karena segala kerusakan yang ada di bumi ini merupakan akibat ulah manusia itu sendiri, jadi selagi kita dapat memperbaikinya atau setidaknya meminimalisir segala kerusakan masih mungkin kita merubahnya. ALLAH SWT berfirman :

= : ظهرالفسد فى البر والبحر بماكسبت ايدى الناس ليذيقهم بعض الذى عملوا لعلهم يرجعون = الروم

“Tampaklah kerusakan di daratan dan di lautam dikarenakan perbuatan (buruk) tangan-tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian dari apa-apa yang mereka perbuat dan agar mereka kembali.” (QS. Ar-Rum, 30 : 41)

Kembali Imam as-Suyuthi mengutip penafsiran Ibnu Abbas tentang ayat ini. Ibnu Abbas menyatakan tentang akan berkurangnya keberkahan karena amal buruk manusia dan mereka tidak bertaubat. Al-Hasan menambahkan bahwa ALLAH akan membinasakan manusia karena dosa-dosa dan perbuatan buruk mereka baik di daratan maupun di lautan.

Selaras dengan pernyataan di atas, Eep Saepulloh Fatah mengajak kita untuk melakukan pertaubatan bersama. Fatah menyebutkan tiga kesalahan dalam pengelolaan lingkungan, yaitu, pertama membiarkan pemanfaatan sumber daya alam terbarukan” melebihi laju regenerasinya. Misalnya, eksploitasi hutan yang tak terkontrol.

Kedua, penipisan “sumber daya tak terbarukan” tanpa dibarengi pengembangan substitusinya. Misalnya, eksploitasi bahan bakar fosil tanpa menyiapkan bahan bakar alternatif.

Ketiga, produksi limbah melebihi kemampuan asimilasi lingkungan. Kasus sampah di sekitar kita hampir tak pernah menemukan solusi.

Bila kita menggambarkan segala permasalahan lingkungan yang kita rasakan dan memikirkan solusinya, sepertinya sangat sulit untuk melakukannya. Tapi, bukankah Islam telah mengajari kita untuk tidak berbuat boros (tabdzir), sederhana dan menghargai ekosistem yang ada di sekitar kita. Segala kerusakan ini terjadi karena manusia menjadi serakah dan tidak memperhatikan lingkungannya. Marilah kita kembali melakukan introspeksi, tabat dan melakukan hal-hal strategis sebelum segalanya terlambat. Wallahu a'lam bisshawab.