Minggu, 27 Januari 2008

Menerawang Ekonomi Indonesia di Tahun 2008

Menerawang ekonomi Indonesia di tahun 2008 ini, mungkin bisa kita mulai dengan data inflasi nasional yang masih tergolong normal, sebesar lebih kurang 6,4 persen. Sampai sejauh ini, BI agaknya cukup percaya diri dan memastikan bahwa tingkat inflasi akan terus terjaga ke depan. Sikap penuh percaya diri ini dimanifestasikan dengan pemangkasan suku bunga BI sebesar 25 basis poin ke tingkat 8 persen pada awal Desember lalu.
Tekanan inflasi ke depan akan menguat sebagai akibat derasnya arus investasi asing. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda arus modal asing akan mereda. Sebaliknya, data awal menunjukkan bahwa akan terjadi peningkatan arus modal asing tahun ini, yang diprediksikan akan mencapai lebih besar 15,6 miliar dollar AS ketimbang tahun lalu. Makin besarnya animo investor asing didorong oleh banyak faktor, antara lain prediksi pelemahan ekonomi di banyak negara maju akibat efek berantai krisis keuangan subprime mortgage (krisis kredit perumahan di AS) serta masih tingginya risiko politik di negara berkembang lain.

Tantangan Kenaikan Harga Minyak
Kenaikan harga minyak masih menjadi tantangan terbesar bagi stabilitas ekonomi makro pada 2008. Saat ini harga minyak sekitar 98 dollar AS per barrel. Asumsi harga minyak untuk penerimaan hasil minyak dan pengeluaran subsidi BBM 60 dollar per barrel. Jika sepanjang tahun 2008 harga minyak terus bertengger di 100 dollar per barrel, subsidi energi akan melonjak lebih besar daripada kenaikan penerimaan minyak. Jika pemerintah tak melakukan penghematan, defisit anggaran akan memburuk dari Rp 73 triliun menjadi Rp 128 triliun atau setara dengan 3 persen produk domestik bruto (PDB). Dan akumulasi kenaikan harga minyak dunia ini akan mendorong tingkat harga domestik ke atas, yang biasanya akan berujung pada inflasi.
Masih belum terasanya dampak kenaikan harga minyak pada perekonomian domestik saat ini disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama adalah relatif terinsulasinya konsumsi rumah tangga berkat subsidi BBM. Faktor kedua adalah adanya efek keterlambatan (lag effect) transmisi harga dari tingkatan harga minyak mentah di pasar dunia ke harga minyak eceran di tingkat konsumen. Akan tetapi, seiring dengan merangkaknya biaya bahan baku dan distribusi pada sektor produksi sebagai kenaikan harga minyak, kenaikan harga ini akan tertransmisi ke tingkat eceran dan rumah tangga, yang akan meningkatkan inflasi domestik. Alhasil, dari beberapa faktor di atas, inflasi tinggi masih merupakan potensi yang harus diwaspadai di tahun ini.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil kebijakan dalam mengantisipasi kondisi di atas. Setidaknya ada dua kebijakan sebagai langkah pengamanan, yang memiliki risiko politik dan ekonomi yang kecil. Langkah pertama adalah memastikan gejolak harga minyak sepenuhnya diserap APBN. Langkah ini penting untuk menginsulasi rumah tangga konsumen dari kenaikan harga minyak dan tekanan inflasi spiral. Sementara langkah kedua adalah mempersempit koridor lalu lintas devisa serta mengarahkan modal asing yang masuk lebih pada sektor-sektor yang produktif, bukan sebatas investasi portofolio.

Mencari Sumber Energi Baru
Kita harus berpikir jangka panjang dengan tetap mencari sumber energi baru. Penerimaan minyak berisiko turun karena produksi minyak turun. Bahkan, karena konsumsi minyak meningkat, neraca perdagangan minyak defisit 8,7 miliar dollar AS per November 2007. Jika ditambah ekspor gas, neraca perdagangan minyak dan gas hanya surplus 74 juta dollar AS. Surplus neraca perdagangan kita yang 36 miliar dollar AS bukan ditopang produksi minyak, tetapi ekspor komoditas nonminyak.
Banyak analis memprediksi, tahun 2008 harga batu bara dan kelapa sawit akan bertahan tinggi karena tren jangka panjang diversifikasi energi. Tetapi, harga komoditas nikel, tembaga, dan produk metal lainnya diprediksi turun pada semester pertama (setidaknya sementara waktu) karena pelemahan ekonomi dunia. Seperti yang terjadi pada tahun 2007, kenaikan harga saham di Indonesia didorong oleh kenaikan harga komoditas sehingga harga beberapa saham perusahaan pertambangan dan perkebunan melesat lebih dari 100 persen karena labanya meningkat pesat. Tren diversifikasi bahan energi dari minyak bumi ke batu bara, bioenergi, dan biodiesel telah menaikkan harga barang tambang (batu bara dan gas) dan produk perkebunan (kelapa sawit, jagung, kedelai, gandum, dan sebagainya).
Sebenarnya kita tidak perlu pontang-panting kerepotan dengan kenaikan harga BBM, karena kita masih bisa mengembangkan beberapa komoditas dan sumber energi lain. Selain batu bara dan kelapa sawit, kita masih punya energi panas bumi, pohon jarak, energi air, energi angin, bahkan energi sinar matahari. Yang diperlukan adalah konsistensi dan implementasi pemberian insentif, termasuk untuk riset, eksplorasi, dan insentif untuk pemakai energi itu. Jangan sampai kita hanya mendapatkan kerusakan lingkungan dari eksplorasi bahan energi (misalnya batu bara dan kelapa sawit), tetapi kita tak mendapat manfaat maksimum dari bahan baku energi tersebut. Wallahu a’lam bis-shawab.

Rijaludin dari berbagai sumber

MENELISIK KEMACETAN BANDUNG

Bandung macet, mungkin sekarang bukan suatu fenomena yang aneh. Hampir semua jalan di setiap sudut Kota Bandung mengalami kemacetan setiap hari. Coba amatilah jalan-jalan utama Kota Bandung setiap pagi dan sore hari. Tampak barisan mobil memanjang. Terdapat juga sepeda motor dan becak terselip di antara antrean mobil tersebut.
Kini, kemacetan lalu lintas kian terasa saat akhir pekan atau hari libur ketika banyak warga Jakarta dan kota-kota lainnya berlibur ke Bandung. Pendek kata, kemacetan lalu lintas di Kota Bandung sudah membuat warganya tidak nyaman. Waktu terbuang percuma di jalanan, ongkos transportasi jadi mahal dan bahan bakar makin boros.
Apabila ditelisik, ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kemacetan Bandung ini. Pertama, karena tidak seimbangnya peningkatan jumlah kendaraan dengan peningkatan ruas jalan. Peningkatan jumlah kendaraan berkisar antara 11% s/d 15% pertahun; sementara peningkatan jaringan jalan hanyalah sekitar 1.4% saja.
Kedua, aspek tata ruang. Ada orang yang mengatakan bahwa kemacetan yang terjadi di Bandung ini, sebenarnya dibuat sendiri oleh pemerintah. Karena orientasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang menggebu, pembangunan pertokoan, pasar swalayan, perkantoran, terus dipacu. Tapi dari sisi perencanaan tata ruang ( tata ruang sebagai salah satu variabel dari penyebab kemacetan) aktifitas yang diperkirakan dapat menyedot kendaraan sebanyak-banyaknya itu tidak harus tumplek, di satu lingkungan tertentu.
Ketiga, kebijakan rute angkutan umum. Boleh jadi Pemda ingin memberikan pelayanan angkutan umum yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan pembuatan trayek dari satu titik pemberangkatan ke titik tujuan dan sebaliknya dilandasi oleh keinginan untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya tersebut. Atau dengan penambahan armada angkot hanya didasari untuk menambah pemasukan.
Pada dasarnya terdapat empat pendekatan utama untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas. Pendekatan pertama adalah pembangunan infrastruktur (infrastructure provision) baru, dengan membangun jalan baru bisa berupa jalan tol atau jalan layang, pelebaran jalan, membangun jembatan dan sebagainya.
Pendekatan kedua adalah mengatur permintaan pergerakan (demand management). Ide dasar ini adalah mengatur permintaan pergerakan orang atau barang pada waktu dan tempat yang bersamaan berdasarkan tinjauan dari pola pemanfaatan ruang dan sistem jaringan.
Pendekatan ketiga adalah mengatur angkutan umum publik (public transport management), yang bertujuan untuk meningkatkan daya angkut jumlah penumpang melalui kendaraan umum, sehingga penggunaan kendaraan pribadi menurun.
Pendekatan terakhir adalah mengatur lalu lintas (traffic management). Pendekatan ini cukup sering dijalankan di Kota Bandung. Tujuannya untuk memperlancar arus pergerakan lalu lintas untuk menghindari terjadinya kemacetan.
Kebijakan pemerintah dalam hal tata ruang ataupun urusan trayek yang ujung-ujungnya mempengaruhi tingkat kemacetan ini, ada baiknya memerhatikan pula aspek psikologis. Jangan hanya karena bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, kemudian aspek yang lainnya- - termasuk aspek kemacetan - - menjadi terlupakan. Bila kemacetan ini terjadi terus-menerus, bukan tidak mungkin akan preseden yang buruk bagi warga Bandung sendiri. Kalau sudah begitu, tersentil saja oleh hal-hal yag kecil bisa-bisa menjadi pemicu kerusuhan yang besar. Bukankah pengalaman selama ini menujukan, bahwa bila penduduk lokal sudah marah, kontrolnya akan hilang?. Kalaulah itu yang terjadi, selain semuanya rugi, dan yang juga tidak kalah pentingnya - - apa yang tadinya - - dianggap sebagai modal untuk meningkatkan pemasukan daerah, justeru jadi tekor. Wallahu a’lam bis-shawab


Rijaludin dari beberapa sumber

Dilema BBM

Pernahkah anda mengantri minyak tanah? Bila pernah, tentu anda akan merasa sangat kerepotan. Setidaknya seperti itulah yang dirasakan penulis ketika harus mengantri selama 2-3 jam hanya untuk mendapatkan 2-3 liter minyak tanah. Daerah saya termasuk dari sebagian besar wilayah di Kota Bandung yang belum terjamah program konversi minyak tanah ke gas.
Kenyataan tadi telah menunjukkan bagaimana pemerintah belum bisa melakukan langkah-langkah yang efektif dalam mengantisipasi permasalahan BBM ini. Padahal, sejak jauh-jauh hari pemerintah telah menangkap sinyal akan naiknya harga minyak di pasar internasional, bahkan sampai pernah menyentuh angka 100 dollar AS per barrel. Pemerintah masih menganggap krisis minyak yang tengah terjadi ini hanya proses fluktuatif biasa dan tidak banyak mempengaruhi APBN. APBN masih dinilai netral, atau dengan kata lain pembengkakan subsidi – bila harga minyak terus menanjak – masih bisa ditutupi dengan peningkatan pendapatan dari kenaikan produksi migas. Kondisi netral ini hanya akan dicapai bila produksi minyak mentah kita sebesar 1,034 juta barrel perhari, dan untuk mencapai angka produksi minyak mentah 1,034 juta barrel perhari itu sangat sulit. Menteri Keuangan pernah melakukan koreksi terhadap produksi (lifting) minyak pada tahun 2007 menjadi sebesar 899.000 barrel per hari dari apa yang dilaporkan Menteri ESDM sebesar 910.000 barrel per hari. Keadaan ini, menurut Menkeu, mengkhawatirkan karena kecenderungan produksi yang terus menurun dan jauh di bawah sasaran APBN.
Sementara itu, program konversi minyak ke gas yang ditargetkan bisa rampung dalam empat tahun, ternyata berjalan secara tergopoh-gopoh dan tidak merata. Sebenarnya, empat tahun waktu yang ditargetkan – berkaca dari pengalaman negara lain dalam pengembangan energi baru – adalah suatu kemustahilan. Sebagai contoh, proses transisi energi yang dilakukan di AS berjalan selama 70 tahun (1850 – 1920)dan Korea 30 tahun (1950 – 1980). Berbagai studi di sejumlah negara yang melakukan transisi energi ini menunjukkan, adopsi terhadap energi yang lebih moderen ternyata berujung pada pemakaian sumber energi ganda. Promosi energi yang lebih baik tak banyak menuai hasil. Dan sebuah keluarga hanya akan beralih ke energi yang lebih baik sangat tergantung kepada peningkatan pendapatan.
Kenaikan harga BBM sampai di atas 80 dollar AS perbarrel, akan menjadi pukulan bagi dunia usaha. Industri yang akan terpukul dengan kenaikan ini sudah pasti adalah industri transportasi, manufaktur dan pariwisata. Padahal, sekitar 99,9% transportasi, 43,8% manufaktur, 53,1% sektor komersil lain dan 23,7% pembangkit listrik di Indonesia masih sangat tergantung kepada BBM. Dikhawatirkan akan ada dampak berantai (pass-through effects) bagi perekonomian domestik dalam bentuk kenaikan biaya produksi, kenaikan inflasi, penurunan pertumbuhan ekonomi dan seterusnya. Sedangkan 49% penduduk Indonesia atau hampir 120 juta jiwa menurut Bank Dunia berada di bawah garis kemiskinan, yang pasti akan sangat terpukul dengan kondisi tersebut.

Memang pemerintah dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sangat dilematis. Ketika pemerintah berusaha mematok harga minyak pada kisaran 60 dollar AS perbarrel, sedangkan harga di pasar internasional sudah berada di atas 80 dollar AS perbarrel. Selain hanya akan menambah beban utang negara, kenaikan harga minyak pun akan mengakibatkan defisit APBN antara Rp. 5 miliar sampai Rp. 1 triliun.
Bila negara produsen minyak lainnya, telah sadar bahwa mereka tidak dapat bergantung pada pemain utama perminyakan asing karena alasan kepentingan nasional. Sehingga dalam jangka waktu tertentu mereka harus mengembangkan perusahaan nasional perminyakannya sendiri, seperti Petrobas di Brasil, Petronas di Malaysia, Aramco di Arab Saudi, dan di negara lainnya seperti Rusia, Norwegia, dan Iran. Dan kenyataaannya perusahaan-perusahaan tersebut yang pada umumnya adalah BUMN sudah menjadi pemain dunia dan menjadi penyumbang utama produksi minyak negara yang bersangkutan sehingga mereka tidak lagi terjerat dalam konflik antara mengundang investor asing dan kepentingan nasional. Apakah kita bisa berharap banyak kepada Pertamina? Dan apakah pemerintah berani menempuh langkah-langkah yang lebih tegas dan berani? Wallahu a’lam bis-shawab.

Rijaludin dari berbagai sumber