Minggu, 27 Januari 2008

Dilema BBM

Pernahkah anda mengantri minyak tanah? Bila pernah, tentu anda akan merasa sangat kerepotan. Setidaknya seperti itulah yang dirasakan penulis ketika harus mengantri selama 2-3 jam hanya untuk mendapatkan 2-3 liter minyak tanah. Daerah saya termasuk dari sebagian besar wilayah di Kota Bandung yang belum terjamah program konversi minyak tanah ke gas.
Kenyataan tadi telah menunjukkan bagaimana pemerintah belum bisa melakukan langkah-langkah yang efektif dalam mengantisipasi permasalahan BBM ini. Padahal, sejak jauh-jauh hari pemerintah telah menangkap sinyal akan naiknya harga minyak di pasar internasional, bahkan sampai pernah menyentuh angka 100 dollar AS per barrel. Pemerintah masih menganggap krisis minyak yang tengah terjadi ini hanya proses fluktuatif biasa dan tidak banyak mempengaruhi APBN. APBN masih dinilai netral, atau dengan kata lain pembengkakan subsidi – bila harga minyak terus menanjak – masih bisa ditutupi dengan peningkatan pendapatan dari kenaikan produksi migas. Kondisi netral ini hanya akan dicapai bila produksi minyak mentah kita sebesar 1,034 juta barrel perhari, dan untuk mencapai angka produksi minyak mentah 1,034 juta barrel perhari itu sangat sulit. Menteri Keuangan pernah melakukan koreksi terhadap produksi (lifting) minyak pada tahun 2007 menjadi sebesar 899.000 barrel per hari dari apa yang dilaporkan Menteri ESDM sebesar 910.000 barrel per hari. Keadaan ini, menurut Menkeu, mengkhawatirkan karena kecenderungan produksi yang terus menurun dan jauh di bawah sasaran APBN.
Sementara itu, program konversi minyak ke gas yang ditargetkan bisa rampung dalam empat tahun, ternyata berjalan secara tergopoh-gopoh dan tidak merata. Sebenarnya, empat tahun waktu yang ditargetkan – berkaca dari pengalaman negara lain dalam pengembangan energi baru – adalah suatu kemustahilan. Sebagai contoh, proses transisi energi yang dilakukan di AS berjalan selama 70 tahun (1850 – 1920)dan Korea 30 tahun (1950 – 1980). Berbagai studi di sejumlah negara yang melakukan transisi energi ini menunjukkan, adopsi terhadap energi yang lebih moderen ternyata berujung pada pemakaian sumber energi ganda. Promosi energi yang lebih baik tak banyak menuai hasil. Dan sebuah keluarga hanya akan beralih ke energi yang lebih baik sangat tergantung kepada peningkatan pendapatan.
Kenaikan harga BBM sampai di atas 80 dollar AS perbarrel, akan menjadi pukulan bagi dunia usaha. Industri yang akan terpukul dengan kenaikan ini sudah pasti adalah industri transportasi, manufaktur dan pariwisata. Padahal, sekitar 99,9% transportasi, 43,8% manufaktur, 53,1% sektor komersil lain dan 23,7% pembangkit listrik di Indonesia masih sangat tergantung kepada BBM. Dikhawatirkan akan ada dampak berantai (pass-through effects) bagi perekonomian domestik dalam bentuk kenaikan biaya produksi, kenaikan inflasi, penurunan pertumbuhan ekonomi dan seterusnya. Sedangkan 49% penduduk Indonesia atau hampir 120 juta jiwa menurut Bank Dunia berada di bawah garis kemiskinan, yang pasti akan sangat terpukul dengan kondisi tersebut.

Memang pemerintah dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sangat dilematis. Ketika pemerintah berusaha mematok harga minyak pada kisaran 60 dollar AS perbarrel, sedangkan harga di pasar internasional sudah berada di atas 80 dollar AS perbarrel. Selain hanya akan menambah beban utang negara, kenaikan harga minyak pun akan mengakibatkan defisit APBN antara Rp. 5 miliar sampai Rp. 1 triliun.
Bila negara produsen minyak lainnya, telah sadar bahwa mereka tidak dapat bergantung pada pemain utama perminyakan asing karena alasan kepentingan nasional. Sehingga dalam jangka waktu tertentu mereka harus mengembangkan perusahaan nasional perminyakannya sendiri, seperti Petrobas di Brasil, Petronas di Malaysia, Aramco di Arab Saudi, dan di negara lainnya seperti Rusia, Norwegia, dan Iran. Dan kenyataaannya perusahaan-perusahaan tersebut yang pada umumnya adalah BUMN sudah menjadi pemain dunia dan menjadi penyumbang utama produksi minyak negara yang bersangkutan sehingga mereka tidak lagi terjerat dalam konflik antara mengundang investor asing dan kepentingan nasional. Apakah kita bisa berharap banyak kepada Pertamina? Dan apakah pemerintah berani menempuh langkah-langkah yang lebih tegas dan berani? Wallahu a’lam bis-shawab.

Rijaludin dari berbagai sumber

Tidak ada komentar: