Minggu, 24 Februari 2008

BELAJAR DARI KANT

Banyak orang mengenal Immanuel Kant, baik sebagai pemikir, filsof dan lain-lain, tapi tak cukup banyak orang yang mengetahui perjalanan intelektualnya. Ternyata perjalanan intelektual Kant melebihi perjalanan fisik yang dapat ia lakukan.
Kant pada suatu bagian kehidupannya pernah menjadi guru besar geografi yang piawai menggambarkan sisi kota-kota besar dunia dan beberapa penjuru dunia. Padahal, Kant sama sekali tak pernah melihat gunung seumur hidupnya. Bahkan, ia sama sekali tak pernah melihat lautan, yang sebetulnya hanya berjarak beberapa mil saja dari rumahnya.
Sebenarnya Kant rajin melakukan perjalanan fisik di pagi hari buta pada musim apa pun. Tapi, perjalanan fisik Kant – yang orang menyebutnya sebagai “Philosopher's walker” - ini tak tak pernah melewati batas-batas kota kecilnya, Konigsberg. Ajaibnya, meski petualangan fisik Kant sangat terbatas, ia mampu memberikan kuliah-kuliah geografi dengan penggambaran yang sangat cerdas, hidup dan memukau. Dengan segala keterbatasannya, dari mana Kant memiliki kepiawaian seperti itu?
Dari caranya bertutur dan risalah-risalah yang ditulisnya, orang akan segera mengetahui betapa Kant telah melakukan perjalanan yang begitu jauh melewati wilayah-wilayah etika dan epistemologi dengan segala tantangannya. Bahkan, melampaui Ultima thule (jarak terjauh) logika yang rumit dan berbahaya hingga menembus lorong ilmu yang paling gelap dan paling jauh.
Ternyata, Kant memiliki kemampuan yang luar biasa luas dan dalamnya itu berasal dari kedalaman intelektualitasnya yang terasah melalui buku-buku dan literatur-literatur yang ia baca. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dinyatakan oleh Susan Sontag, esais dan novelis Amerika Serikat yang pernah menulis esai “Homage to Halliburton”:
“Sebelum melakukan petualangan fisik – dalam hidupku, setidaknya – ada petualangan bersama buku-buku. Buku-buku itu menuturkan kepadamu dunia yang maha luas, namun sungguh tercakup. Penuh dengan kemungkinan-kemungkinan”.
Begitu besar dan pentingnya buku-buku dalam pembentukan kepribadian seseorang, sehingga banyak orang terprovokasi dan termotivasi oleh bacaan-bacaannya. Sayang, di Indonesia kini, sangat langka kita temui buku-buku yang mampu memberikan kedalaman dan kesegaran bagi jiwa. Buku-buku yang kritis menginterogasi keyakinan-keyakinan kita yang telah usang, yang mengajak kita berpetualang ke ruang-ruang yang mungkin sama sekali asing dan memberi banyak inspirasi bagi para pembacanya. Kenyataannya kita banyak disuguhi buku-buku – yang Sontag menyebutnya sebagai – bookscreen yang banyak mengumbar seks, gosip, cerita-cerita tentang trik-trik menjadi kaya dan sebagainya.
Keprihatinan kita tentang buku-buku yang berkualitas dan memberikan banyak inspirasi, ternyata masih harus ditambah dengan minimnya minat baca dan perpustakaan-perpustakaan publik. Kenyataan seperti ini lambat laun akan memberikan kontribusi pada hilangnya sejarah umat manusia. Setidaknya itulah yang Sontag katakan :
“Jika buku-buku musnah, sejarah akan musnah dan umat manusia juga akan musnah... buku-buku bukan hanya penjumlahan dari mimpi-mimpi dan ingatan kita, tapi juga memberikan kepada kita model transendensi diri.”
Bila kita ingin jadi orang besar seperti Immanuel Kant dan orang-orang besar lainnya, mari mulai petualangan intelektual transedental kita dengan banyak membaca. Wallahu a'lam bisshowab. (zoel)