Senin, 31 Desember 2007

LAUT MEMANAS DAN MELUAP

LAUT MEMANAS DAN MELUAP :

MEMAHAMI PEMANASAN GLOBAL

DALAM PEMAHAMAN YANG KOMFEREHENSIF

= : واذاالبحار سجرت = التكوير

= : واذاالبحار فجرت = الانفطار

Tanggal 3-14 desember 2007 diselenggarakan Konferensi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim ( UNFCCC) atau sering juga disebut dengan Conference of the Parties to the Convention (COP) ke-13 di Nusa Dua Bali, yang bertujuan untuk merumuskan “peta alur jalan” (road map) dalam mengantisipasi permasalahan perubahan iklim dan pemanasan global. Isu perubahan iklim dan pemanasan global ini kian menghangat ketika masyarakat dunia semakin sadar akan dampak dari kedua masalah besar tadi. Naiknya suhu bumi telah mengakibatkan meluapnya air laut sampai rata-rata 15 cm hingga telah menenggelamkan sebagian pulau di samudera Pasifik, pencairan glacier dan bongkahan gunung es di Kutub Utara. Pemanasan global (global warming) ini pun telah meningkatkan frekuensi badai, topan dan banjir. Dan akibat dari musim yang tidak menentu menyebabkan para petani mengalami gagal panen.

Memperhatikan keprihatinan Abdul Mu'ti dalam tulisannya di sebuah media nasional tentang 'dingin'nya para ulama dan umat Islam dalam menanggapi isu pemanasan global ini serta terkesan dikotomis dan terlalu text-oriented. Maka, penulis merasa tergerak untuk menceritakan isu pemanasan global ini dalam perspektif yang menggabungkan pemahaman text-oriented (Naqliyyah) dan pemahaman kontekstual.

a. Laut Memanas dan Meluap

Dua ayat di awal tulisan ini telah mengajak kita untuk menengok fenomena alam البحار (lautan) yang disandingkan dengan ungkapan سجرت (dipanaskan) dan فجرت (meluap). Imam as-Suyuthi rohimahullah dalam kitab tafsirnya, ad-Durul Mantsur fit-Tafsiril Ma`tsur, telah mengutip beberapa penafsiran para sahabat dan tabi'in tentang dua ayat di atas.

Ad-Dhahak dan al-Hasan menjelaskan ayat واذاالبحار سجرت dengan pernyataan: “Air laut meluap dan hilang meresap”. Ad-Dhahak menambahkan kata سجرت memiliki pengertian yang sama dengan kata فجرت .

Sedangkan Ibnu Abbas ketika ditanya tentang ayat واذاالبحار سجرت oleh Nafi' bin al-Azraq, Abbas menjelaskan bahwa air laut akan memanas hingga menjadi api, dan air laut akan meluap dan bercampur dengan air di daratan.

Dengan penjelasan yang agak panjang, Ubay bin Ka'ab menjelaskan: “Di saat menjelang kiamat Jin dan Manusia berlarian ke laut, tapi laut telah menjadi api yang menyala-nyala. Lalu bumi terbelah di antara mereka dan tiba-tiba datanglah angin yang menewaskan mereka semua.”

Sedangkan untuk ayat واذاالبحار فجرت Ibnu Abbas memaparkan, bahwa air laut akan meluap dan bercampur antara yang satu dengan yang lainnya.

Dari beberapa penafsiran di atas dapat kita simpulkan, dua ayat tadi menjelaskan tentang ciri-ciri kiamat yang salah satunya digambarkan dengan air laut yang memanas, meluap ke darat, meresap dan hilang menguap. Namun, apakah gambaran ini mendekati fenomena pemanasan global?

b. Memahami Konteks Pemanasan Global

Fenomena pemanasan global sebenarnya adalah apa yang kita kenal sebagai efek rumah kaca secara berlebihan. Efek rumah kaca terjadi ketika sisa-sisa pembakaran berupa Karbondioksida (CO2), Dinitoksida (N2O), Metana (CH4), Sulfurheksafluorida (SF6), Perfluorkarbon (PFC5) dan Hidrofluoro karbon (HFC5) menyelimuti atmosfer sehingga radiasi matahari tidak seluruhnya dapat dipantulkan dan terperangkap di bumi. Efek rumah kaca diakibatkan oleh pembakaran gas kendaraan bermotor, penggunaan gas untuk memasak dan penggunaan bahan bakar fosil, seperti minyak dan batubara.

Di awal telah disebutkan beberapa hal yang ditimbulkan dari pemanasan global. Kengerian ini masih akan terus bertambah, seperti yang dilaporkan oleh majalah Time (edisi 1 Oktober 2007), bahwa lapisan es di Kutub Utara menyusut lebih dari 20 persen dalam 25 tahun terakhir dan akan terus terjadi sampai hanya menyisakan 20 persen lapisan es saja pada 2040. Saat itu Indonesia diperkirakan akan kehilangan 2000 pulaunya yang tenggelam. Pertengahan November kemarin pun warga Jakarta dikejutkan dengan meluapnya air laut hingga menyerupai fenomena banjir yang biasa terjadi.

Masih banyak kejadian lain yang semakin mendekatkan kepada kita apa yang difirmankan ALLAH SWT dalam dua ayat di muka, “Laut Memanas dan Meluap”. Bukankah suatu yang sangat cocok antara penjelasan tekstual dan kontekstual?

c. Pemahaman dan Pertobatan Secara Komferehensif (Kaffah)

Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Abdul Mu'ti, mengajak para ulama dan seluruh umat manusia untuk melakukan langkah bersama dalam mengantisipasi fenomena pemanasan global ini tanpa terjebak pada pemahaman yang dikotomi, membedakan antara urusan dunia dan urusan akhirat, serta tidak memilah-milah antara pemahaman tekstual dan kontekstual, toh kedua pemahaman ini bisa sinkron.

Selanjutnya, tak cukup dengan hanya menyerahkannya kepada takdir ALLAH SWT, karena segala kerusakan yang ada di bumi ini merupakan akibat ulah manusia itu sendiri, jadi selagi kita dapat memperbaikinya atau setidaknya meminimalisir segala kerusakan masih mungkin kita merubahnya. ALLAH SWT berfirman :

= : ظهرالفسد فى البر والبحر بماكسبت ايدى الناس ليذيقهم بعض الذى عملوا لعلهم يرجعون = الروم

“Tampaklah kerusakan di daratan dan di lautam dikarenakan perbuatan (buruk) tangan-tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian dari apa-apa yang mereka perbuat dan agar mereka kembali.” (QS. Ar-Rum, 30 : 41)

Kembali Imam as-Suyuthi mengutip penafsiran Ibnu Abbas tentang ayat ini. Ibnu Abbas menyatakan tentang akan berkurangnya keberkahan karena amal buruk manusia dan mereka tidak bertaubat. Al-Hasan menambahkan bahwa ALLAH akan membinasakan manusia karena dosa-dosa dan perbuatan buruk mereka baik di daratan maupun di lautan.

Selaras dengan pernyataan di atas, Eep Saepulloh Fatah mengajak kita untuk melakukan pertaubatan bersama. Fatah menyebutkan tiga kesalahan dalam pengelolaan lingkungan, yaitu, pertama membiarkan pemanfaatan sumber daya alam terbarukan” melebihi laju regenerasinya. Misalnya, eksploitasi hutan yang tak terkontrol.

Kedua, penipisan “sumber daya tak terbarukan” tanpa dibarengi pengembangan substitusinya. Misalnya, eksploitasi bahan bakar fosil tanpa menyiapkan bahan bakar alternatif.

Ketiga, produksi limbah melebihi kemampuan asimilasi lingkungan. Kasus sampah di sekitar kita hampir tak pernah menemukan solusi.

Bila kita menggambarkan segala permasalahan lingkungan yang kita rasakan dan memikirkan solusinya, sepertinya sangat sulit untuk melakukannya. Tapi, bukankah Islam telah mengajari kita untuk tidak berbuat boros (tabdzir), sederhana dan menghargai ekosistem yang ada di sekitar kita. Segala kerusakan ini terjadi karena manusia menjadi serakah dan tidak memperhatikan lingkungannya. Marilah kita kembali melakukan introspeksi, tabat dan melakukan hal-hal strategis sebelum segalanya terlambat. Wallahu a'lam bisshawab.